MASYARAKAT Jawa Tengah pada hari Ahad, 26 Mei 2013 akan melaksanakan
pesta demokrasi berupa pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Sebagai
pesta demokrasi rakyat, pilgub merupakan momentum strategis untuk
menentukan arah kepemimpinan gubernur menuju Jawa Tengah yang sejahtera.
Partisipasi mayarakat Jawa tengah dalam pilgub dengan mendatangi
TPS-TPS dan memberikan hak suaranya merupakan wujud nyata warga negara
yang baik untuk keberlanjutan kepemimpinan pemerintahan tingkat
provinsi. Tulisan singkat ini akan memberikan gambaran konsepsi negara
dalam Islam dan bagaimana peran rakyat dalam upaya menegakkan
pemerintahan melalui mekanisme demokrasi yaitu pemilu sebagai media
sirkulasi kepemimpinan politik.
Islam dan Wawasan Politik
Berdirinya suatu negara merupakan sebuah keharusan dalam suatu komunitas
umat Islam. Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat,
melayani mereka, serta menjaga kemaslahatan bersama (al-mashlahah
al-musytarakah). Konsep mendirikan negara dalam pandangan ulama Sunni
(Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah) tidaklah termasuk satu pilar (rukun) iman
sebagaimana yang diyakini oleh ulama Syi’ah. Namun demikian, ulama Sunni
tidak membolehkan keadaan berlarut-larut kosong (vacum) tanpa adanya
suatu pemerintahan.
Perlunya mengangkat seorang pemimpin untuk mengelola sebuah negara
didasarkan pada pertimbangan bahwa pada tabiatnya manusia adalah makhluk
yang suka kerja sama dan tolong menolong dalam rangka memenuhi
kehidupan mereka. Akan tetapi karena dalam proses kerjasama dan
tolong-menolong itu sering terjadi perselisihan dan persaingan, maka
untuk mengatasinya diperlukan negara sebagai institusi yang diberi
mandat untuk mengatur tatanan sosial dan keagamaan atau pemerintahan.
Menurut Ibn Taimiyyah (661/1262-728/1328), mengangkat seorang
pemimpin komunitas (imam) adalah suatu keharusan mutlak. Argumentasi
yang ia gunakan adalah Hadits nabi: “Jika ada tiga orang berangkat
bepergian, hendaklah satu dari mereka menjadi pemimpin.” Ulama Sunni
lain seperti Abu Hasan al-Mawardi dalam kitabnya Ahkam al-Sulthaniyah
menyatakan bahwa pemerintah perlu dibentuk sebagai instrumen legal untuk
melanjutkan misi kenabian dan mengatur pranata sosial.
Tugas pokok dari negara terhadap rakyatnya dalam pandangan Islam
adalah menciptakan kemaslahatan hidup masyarakat yang dipimpinnya.
Pemimpin negara bukanlah penguasa tetapi sebagai pelayan yang tugas
pokoknya adalah melayani rakyat yang dipimpinnya. Negara dalam pandangan
Islam adalah sebuah instrumen yang diperuntukkan sebagai pelayan
masyarakat, sedangkan masyarakat adalah pokok. Upaya memaksimalkan
kebahagiaan anggota masyarakat adalah tujuan. Menciptakan keadilan dan
keamanan serta mengatur masyarakat adalah instrument untuk mencapai
tujuan dimaksud.
Partisipasi Politik dalam Pemilu
Dalam hukum Islam pemilu, merupakan wasilah/instrumen politik untuk
memilih pemimpin yang mampu menjalankan amanat kepemimpinannya yaitu
menyejahterakan masyarakat yang dipimpinannya. Dengan demikian, tujuan
pokok dari pemilu adalah lahirnya sosok pemimpin yang mampu menciptakan
kemaslahatan hidup rakyatnya. Menurut konstitusi negara Indonesia,
Pemilu merupakan instrumen legal untuk memilih pemimpin.
Seorang warga negara yang berpartisipasi dalam pemilu dengan
memberikan hak suaranya, maka ia telah menegakkan kepemimpinan politik
dan menjauhkan dari kevakuman pemerintahan. Berpartisipasi politik dalam
pemilu merupakan satu tugas keagamaan dengan memberikan suaranya untuk
memilih pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.
Kerangka berpikir hukum yang digunakan untuk meletakkan hukum
partispasi rakyat dalam pemilu adalah dengan melihat hubungan hukum
antara wasilah (instrumen) dengan ghayah (tujuan). Satu tujuan pokok
dari pemilu adalah memilih pemimpin politik (ulil amri) untuk
terciptanya kemaslahatan hidup yaitu berjalannya hukum agama dan tatanan
sosial. Inilah yang disebut dengan the final goal (ghayah).
Pemilu berdasarkan konstitusi negara merupakan proses demokrasi untuk
memilih ulil amri. Pemilu disebut dengan instrumen/alat (wasilah).
Karena mengangkat pemimpin (ulil amri) itu hukumnya wajib, sementara
pemilu merupakan instrumen legalnya, maka berpartisipasi dalam pemilu
juga hukumnya wajib. Dalam kaidah fikih (islamic legal maxim) disebutkan
kewajiban tidak akan berjalan sempurna, tanpa adanya sesuatu yang lain,
maka sesuatu itu hukumnya wajib. Terpilihnya pemimpin yang adil untuk
tertib sosial adalah tujuan (ghayah), sedangkan pemilu adalah
instrumen/alat (wasilah). Hukum wasilah sama dengan hukum ghayah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa pada tahun 2009
memutuskan beberapa hal pokok terkait dengan pemilu. Pertama, pemilihan
umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau
wakil yang memenuhi syarat syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita
bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. Kedua,
memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah
dan imarah dalam kehidupan bersama. Dengan mendasarkan pada
argumen-argumen di atas, kesediaan masyarakat muslim Jawa Tengah untuk
menggunakan hak pilihnya adalah bagian dari pelaksanaan perintah agama
sekaligus cermin sebagai warga negara yang baik. (
nevia)